Ini
lanjutan dari Aku dan Hidupku part 1, bila belum mebaca saya sarnkan untuk
membacanya terlebih dahulu dengan cara mengklik link ini ® http://teenactive-salsabila.blogspot.com/2011/04/kesepian-cerpen.html
“Pa, terus kita harus gimana,
Pa? Aku mau ketemu Kak Savitri, Pa. Ayo, antarkan aku, Pa!”
“Sayaaaang.” Papa membelai
wajahku dengan kedua tangannya.
“Papa, kenapa diam, Pa?”
“Aku tahu, Pa. Di dunia ini gak
ada lagi orang yang sayang sama aku, Pa. Cuma kak Savitri yang sayang sama aku,
dan sekarang aku harus kehilangan dia? Dimana keadilan tuhan, Pa? Dimana?” aku
menangis dan tertunduk lemas. Tak lama, aku pingsan.
“Er, kamu dimana sekarang?
Haruskah aku ke tempat kejadian? Laira pingsan dikamarnya sekarang.” (Bila
sedang tidak ada aku, papa memanggil mama dengan nama asli, begitupun
sebaliknya)
“Aku butuh kamu, Fi disini.
Sekarang saya masih berada di daerah sekitar bali, mungkin ini berada di
perbatasan antara Bali dan Jawa Timur.” Aku tersadar, aku mendengar pembicaraan
mama dan papa lewat telefon. Mama, tak perduli aku pingsan? Aku memang tak
berarti bagi mama.
“Di daerah mana kamu, Er?
Setelah Laira sadar aku akan kesana.”
“Aku ada di Rumah Sakit yang ada
di sekitar Teluk Bali di Kota Penginuman, tapi, kamu naik apa? Tidak mungkin
ada bandara di daerah seperti ini?”
Papa hening, akan berapa lama
papa sampai tujuan, bila naik mobil.
“Kahfi? Baiklah, kamu tidak usah
kesini. Nanti aku beri kabar.”
“Tapi, Erina?”
“Percayalah.”
“Okey,”
Papa menutup telefonnya, aku masih bingung dengan semua kejadian
ini, Kak Savitri merupakan penghubung antara mama dan papa, setelah Kak Savitri
tidak ada? Mungkinkah aku benar-benar tidak punya mama? Jahat sekali hidupku
meperlakukanku. Akupun berdo’a kepada Allah.
“Pa?” kataku.
“Ra, kamu sudah sadar? Syukurlah.”
“Pa, sebenarnya mama sayang tidak, Pa sama aku?”
“Kenapa kamu nanya itu? Jelas mama sayang, dong.” Ujarnya
tersenyum.
“Papa yakin? Tadi di telefon, mama tidak menanyakan kabarku,
setelah papa beri tahu kalau aku pingsan, tapi mama mengacuhkannya. Mama tidak
perduli sama aku, Pa. kalau misalnya aku ikut dalam pesawat itu, dan aku
tenggelam dan aku meninggal, apa mama juga tidak perduli dengan aku, Pa?”
“Kamu. Sst, don’t say it!”
“Pa, terus kita harus gimana, Pa?” papa menyalakan TV yang ada di
kamarku, dan mencari-cari channel yang sedang menyiarkan berita.
“Kita tunggu kabar dari mama.”
Tak lama handphone Papa berdering.
“Kahfi?”
“Iya, Ma?” papa menggunakan kata ‘mama’ karena ada aku
disampingnya.
“Savitri ditemukan dalam keadaan luka berat, dia akan dirawat di
Jakarta. Dan hari ini juga akan diterbangkan ke Jakarta.”
“Alhamdulillah, oke, Ma nanti usai adzan maghrib Papa akan ke
Jakarta.”
Papa menutup telefonya.
“Kakak gimana, Pa?’
“Dalam keadaan luka berat, kita ke Jakarta habis manghrib,
kemaskan barangmu sayang. Kita akan ke Jakarta beberapa hari, nanti Papa yang
akan menelfon wali kelas kamu karena kamu tidak masuk.”
“Iya, Pa. Pa?”
“Kenapa lagi?”
“Ayo ikut aku sebentar keluar.” Aku berlari ke luar sampai ke
pantai, “Pa, kemarin aku disini sama Kak Savitri, Pa melihat sunset. Kak
Savitri suka tempat ini, ia mempotret keindahan tempat ini, Pa. Dan papa tahu,
Pa? Kamera Kak Savitri ketinggalan disini, mungkin Kak Savitri berpesan agar
aku menjaga kameranya, dan mungkin potretan indah itu akan menjadi kenangan aku
dengan Kak Vitri. Tapi, aku nggak kuat buat buka semua foto-foto di dalamnya,
senyumnya selalu membuat aku menangis, Pa. Karena aku merasakan ketulusan dari
dalam dirinya. Dia sangat sayang, aku juga sebaliknya. Dan sekarang dia kritis.
Aku harap aku bisa seperti kemarin bersama Kak Savitri, Pa.” tersadar aku
menangis. Kenapa hidupku selalu penuh dengan tangisan? Apa aku ditakdirkan untuk
terus menangis? Apa, menangis adalah hidupku?
“I'm sure God will
give the best for us, Keep patient, dear. God will give our the best. Ayo,
kita pulang. Bereskan semuanya.”
“Papa, pulang duluan aja.”
“Yaudah, tapi kamu jangan lama-lama ya sayang.”
“Iya, Pa. Percaya sama aku.”
Aku duduk di bangku panjang yang menghadap ke arah sunset. Aku
melihat bayangan Kak Savitri sedang menari-nari bersamaku seperti kemarin.
Bayangan itu telah pudar sekarang. Karena matahari telah tenggelam.
“Raraaa? Udah malem, Ra? Kenapa kamu sendirian?” (Rara panggilanku
di sekolah) tanya Petra.
“Aku cuma mau liat sunset aja ko, Tra. Kamu sendiri?”
“Habis beli, spagheti buat makan malam. Aku antar pulang ya?”
“Gak usah, Tra. Aku masih mau disini.”
“Aku tinggal dulu ya, Ra.”
“Okey, Tra.”
Aku lekas
berdiri, tapi, ketika aku berdiri aku dihampiri oleh seorang gadis yang
menurutku seumuran denganku. Dia menyapaku.
“Hey?”
“Oh, hey. Who are you?”
“I’m a tourist, my name is
Caroline. I come from Germany.” sapanya tersenyum padaku.
“Oh, my name is Laira. What’s
wrong?”
“I saw you cry on
the chair, is it true? Or am I wrong to see?
“Yes, it’s true. Why?”
“Oh, sorry if you do not
like me asking about it to you, I want to ask, where
is this road?” tuturnya sembari
memberi saya sehelai kertas, yang bertuliskan nama jalan disini.
“Sorry, Carol. I don’t know.
Excuse me i must go, my father waiting me at home.”
“Oh, yeah allright. Nice to meet
you.”
“Nice to meet you to.” Aku pergi
meninggalkan caroline dan aku pulang ke rumah. Sampai di rumah papa berdiri
berjalan bolak-balik layaknya setrika. Aku yakin papa mengkhawatirkan aku
karena aku belum pulang.
“Assalamu’alaikum, Pa.”
“Lairaaaaa. . kenapa lama pulangnya? Papa khawatir sama kamu,
sayang.”
“Aku tadi ketemu Caroline, Pa. Dia nanya alamat, alamat rumahnya
Petra, Pa. tapi tadi aku bilang nggak tahu sama dia. Yang patut papa khawatirin
itu Kak Vitri, Pa. Bukan aku.”
“Kenapa kau bilang gak tahu sayang? Kamu kan anak papa juga.”
“Aku takut papa kelamaan nunggu aku. Pa, aku sholat maghrib dulu
ya, Pa.”
Usai sholat, aku mengemaskan barang-barang ke dalam koperku yang
berwarna ungu, hadiah dari nenek, aku ingat nenek–aku kangen nenek, nenek dari
mama. Kalau misalnya dia ada disampingku pasti aku nggak akan broken home kayak
gini, nenek gak setuju kalau papa sama mama pisah. Nenek yang selalu ngingetin
mama biar gak terlalu sibuk sama kerjaannya. Ku raih kamera Kak Savitri ku
peluk erat. Lagi-lagi aku menangis, aku berbicara dalam hati, tuhan kenapa aku selalu menangis, tak
bosankah kau membuatku menangis, sesungguhnya apa salahku tuhan, jangan adakan
lagi tangis ini, ku mohon.
“Ra? Udah selesai?”
“Udah, Pa.” aku sama papa
langsung ke Bandara, dan aku tertidur di pesawat. Setelah sampai, aku dan papa
ke hotel dekat Central Park. Kami mendapat kabar kalau Kak Savitri dirawat di
Siloam Hospitals , Kebon Jeruk. Aku segera kesana. Sampai di sana, aku mencari
kamar Kak Savitri. Aku kaget melihatnya, Kak Vitri seperti mumi yang dibungkus
aku lirih banget liatnya, aku lirik ke arah handphone, wallpapernya photo aku
dan Kak Vitri yang cantik, lirih dan sedih banget ketika ngeliat keadaan Kak
Savitri kayak gini. Gak usah di ceritain lagi, aku meneteskan air mata. Aku
masuk ke dalam kamar tersebut.
“Mamaaaaa.” Aku memeluk mama
dengan refleks. Mamapun juga. Betapa beruntungnya kalian semua yang bisa
dipeluk mama setiap hari, aku? Sekian tahun aku menunggunya.
“Ra . . .” Kak Vitri berbicara
terbata-bata.
“Kakaaaaaaaaaaak. Aku bawa kamera
kaka. Kita ke Bali lagi yuk, Ka.”
“Pa, Ma, Ra, a-ku gak ku-at
ra-sa-nya sa-kit ba-nget.”
“Kaka harus kuat ya kaaaa.. aku
disini, Kak.”
“Kalau misalnya kamu gak
sanggup, Papa rela, Vit.”
“Mama juga, Vit.”
“Mama sama Papa ngomong apa sih,
aku mau Kak Vitri bertahan. Kalian semua jahat.”
“Kasian kakak kamu sayang, kita
harus rela.” Tak lama mama bilang demikian, tampilan layar monitor yang
menunjukan detak jantung, berubah menjadi lurus semua. Pertanda, nyawa Kak
Vitri sudah dicabut oleh yang kuasa.
Pemakamanpun berlangsung, kini
tinggal aku sendiri, tak tahu sanggup atau tidak melanjutkan hidup ini.
Menangis dalam kesendirian.
Ketika
sampai di hotel, aku membuka jendela hotel dan menggoreskan penaku pada sehelai
kertas.
Kematian merupakan takdir tuhan
Kematian datangnya seketika
Kematian menjemput orang yang ku sayang
Aku
benci kematian
Sangat
benci kematian
Tiba-tiba angin berhembus kencang, saat aku
mau mengambil pulpen karena pulpenku habis, kertasnya melayang keluar kamar.
Buat lanjutannya baca di Aku dan Hidupku part3
yahJ
4 comments:
Cepetan ya part 3 nya , penasaran nih ..
Ceritanya keren abiz.
Aku lebih suka part ini . . 'hurt' nya lebih kerasa disini daripada di ending . . hehee . . :P kalimatnya juga lebih 'menusuk' yang disinie. . . ^^
sa1_itac. .
@anonim : iya ya? wah nanti aku mau bikin cerpen yang bikin HURT banyak orang ya:p eh iya makasih:)
Posting Komentar