Kemarin
hari, jum’at tepat hari sumpah pemuda, tanggal 28 Oktober 2011. Sehabis saya
pulang dari rumah sahabat saya, saya menaiki sebuah angkot yang bertuliskan ‘Regency’
yang biasa saya naiki sehari-hari. Siang itu saya pulang agak telat dari biasnya
seitar puku 03.00 siang karena ada kegiatan yaitu mebuat mading kelas.
Saya
masuk ke dalam sebuah angkot, dan duduk dengan nyaman. Sembari menunggu angkot
berjalan saya mengotak-atik handphone saya. Usai puas mengotak-atik saya
letakan handphone di dalam tas. Tak lama ada seorang bapak-bapak yang menurut
pandangan saya berumur 40-an ke atas, berjalan dengan pincang, ia mempunyai dua
kaki. Tetapi ia tidak dapat berjalan sempurna, mungkin kedua kakinya tidak
dapat menopang tubuhnya dengan sempurna, sampai-sampai bila melihat ia
berjalan, serasa melihat orang normal yang sedang berjalan lalu hampir jatuh
namun kembali berjalan.
Ia
berjalan mendekati angkot yang saya tumpangi, lalu ia berbicara kepada supir
angkot, “Saya bisa sampai di Serpong enggak, Pak? Naik angkot ini?” katanya
sang bapak tadi.
“Oh, bisa, Pak. Emang bapak mau kemana?”
“Ke Gunung Kapur. Tapi, Pak saya cuma punya uang 3000
rupiah. Bisa, Pak?”
“Bisa, Pak. Bisa.” Untungnya sang supir berbaik hati. Sang
bapak tadi masuk ke dalam angkot dengan susah payah. Sehingga membutuhkan
pertolongan. Ia mengangkat kaki kananya terlebih dahulu lalu diikuti ia
mengangkat kaki kirinya, saya berkata dalam hati, “Betapa beruntungnya aku Ya
Allah, dengan mudah bisa naik ke dalam angkot ini. Tidak seperti bapak itu.”
“Maaf ya, Bu. makasih, Bu.” kata sang bapak kepada
seorang Ibu yang menolongnya masuk ke dalam. Sampai di dalam, sang bapak
bercerita kepada seorang bapak lainnya dan seorang ibu yang tadi menolongnya,
kurang lebih isinya seperti ini. “Saya dari jam 5 pagi, muter-muter ke daerah
sini, sampai sekarang. Gak nyampe-nyampe juga, saya mau ke gunung kapur, tadi
saya ditelfon Ibu saya muntah darah, dan udah sakit-sakitan. Saya ya sebagai
anak, mau secacat apapun saya, ya kalau orang tua sakit ya harus di jenguk,
biar dengan uang seadanya juga. Namanya anak ya, Pak. Yah, Bu” katanya sembari
bertanya. Bapak dan ibu tadi mengangguk.
“Bapak, gapunya saudara, Pak?”
“Ya, sodara-sodara saya gak ada yang mau bantuin saya. Saya
yah ikhlas aja, ini cacat udah sejak lahir emang begini, saya terima aja. Biarin saya mau kemana juga yang penting saya bisa ketemu ibu saya. Biar sakit
juga.” Sumpah saya menyimak perkataan sang bapak, hati saya tersentuh, saya
saja yang biasanya disuruh mama ke warung, kadang suka mengelak, tapi bapak
itu? Berjalan dengan pincang dari jam
lima pagi menyusuri jalanan panjang, demi ibunya, dan mencari abang tungkang
angkot yang rela dibayar tiga ribu sampai sekarang? Dan akhirnya ada juga yang
mau, Ya sekarang pukul TIGA SORE. Waktu yang lama. Saya mengorek isi tas, saya
berharap saya ada sisa uang jajan yang lebih. Alhamdulillah ada, tapi, saya
malu memberinya.
Sedangkan bapak itu terus bercerita tentang ibunya dan
tentang dirinya, banyak hal yang bisa saya ambil dari cerita bapak tadi,
ternyata tiga ribu rupiah bagi bapak itu adalah sangat sangat sangat berharga. Bapak
itu terus bercerita, saya semakin tersentuh. Saya ingin sekali memberi uang
ini. Tapi, saya malu. Dan entah darimana saya mendapat ide, untuk menaruh uang
itu di atas rok saya yang hitam panjang itu, dan ketika saya turun saya akan
menjatuhkannya, yah mungkin itu bisa terjadi, entah karena saya korban sinetron
atau karena ini memang perintah Allah.
Gang rumah saya semakin dekat, saya bersiap, saya berdo’a,
“Ya Allah semoga ini berhasil.” Dan alhasil saya berhasil menjatuhkan uang itu,
saya keluar angkot lalu saya membayar. Bapak itu berkata, “Dek, uangnya jatuh.”
“Udah ambil buat bapak aja.”
“Makasih, yaa, Dek.”
“Iya, Pak sama-sama.”
Kisah
nyata itu terjadi tepat di depan mata saya saat itu, saya kira berjalan
menyusuri jalan hanya dengan uang beberapa rupiah hanya sebuah cerita belaka. Ternyata
bukan, itu kisah nyata, makasih bapak, bapak telah membuat saya lebih bersyukur
atas apa yang saya dapat. Semoga ibu bapak cepat sembuh.
0 comments:
Posting Komentar